Sejarah
Berdasarkan Samguk Sagi,
seorang pangeran dari kerajaan Buyeo
Timur bernama Jumong mengungsi setelah terjadinya perebutan kekuasaan dengan
pangeran lain di kerajaan itu, dan ia mendirikan sebuah kerajaan bernama
Goguryeo pada tahun 37 SM di sebuah daerah bernama Jolbon Buyeo. Diperkirakan
sekarang berlokasi di tengah lembah Sungai Yalu
dan Tung-chia di perbatasan Korea Utara
dan Manchuria.
Beberapa sejarawan meyakini bahwa Goguryeo mungkin didirikan lebih awal, yakni
pada abad ke-2 SM. Dalam kitab sejarah kuno Tiongkok, Han
Shu, kata Goguryeo dalam aksara Tionghoa
(高句麗) pertama kali ditulis pada tahun
113 SM dimana saat itu adalah sebuah negara kecil yang berada dalam kendali
distrik Xuantu. Dalam catatan Kitab
Kuno Tang, disebutkan bahwa Kaisar
Taizong dari Dinasti Tang
menyebutkan bahwa sejarah Goguryeo mendekati 900 tahun. Pada tahun 75 SM,
sekelompok suku bernama Yemaek, yang diperkirakan merupakan elemen asli warga Goguryeo,
melakukan penyerangan terhadap Distrik Xuantu dari sebelah barat lembah Sungai Yalu.
Bagaimanapun, dari bukti-bukti
tertulis dari kitab-kitab sejarah Tang, Samguk Sagi,
Nihon Shoki
dan sebagainya cenderung mendukung tahun 37 SM atau pertengahan abad ke-1 SM
untuk pendirian Goguryeo. Pembuktian dari benda-benda arkeologis mungkin
mendukung keberadaan suku Yemaek pada abad ke-2 SM, namun tiada bukti langsung
yang bisa menjelaskan apakah mereka menyebut kelompok mereka sebagai warga
Goguryeo. Penyebutan pertama kata Goguryeo sebagai kelompok yang dikait-kaitkan
dengan suku Yemaek dapat ditemukan dalam referensi di Han Shu yang menceritakan
pemberontakan Goguryeo tahun 12 M, ketika mereka melepaskan diri dari pengaruh
Xuantu. Pada saat ini pula para pemimpin Goguryeo mulai mengganti gelarnya
menjadi gelar pemimpin Tiongkok, "wang" (Raja; 王).
Pada pendiriannya, kemungkinan warga
Goguryeo adalah kombinasi dari orang Buyeo dan Yemaek. Babad Tiongkok San
Guo Zhi menyebutkan dalam bagian berjudul Catatan
mengenai Barbarian dari Timur, menyebutkan bahwa suku Buyeo dan Yemaek
berkaitan secara etnis dan berbicara dalam bahasa yang sama.
Jumong dan mitos pendirian
Penyebutan kata Jumong paling awal dicatat dalam tulisan di Prasasti Raja Gwanggaeto yang Agung yang didirikan pada abad ke-4 Masehi. Nama Jumong dapat
dibaca: 朱蒙
(Jumong), 鄒牟
(Chumo), atau 仲牟
(Jungmo).
Prasasti itu menjelaskan bahwa
Jumong adalah pemimpin pertama dan nenek moyang orang Goguryeo, dan ia adalah
putra dari raja Buyeo dan anak perempuan dewi sungai Habaek. Samguk Sagi dan Samguk Yusa
menyebutkan detail dan nama ibu dari Jumong adalah Yuhwa. Ayah kandung Jumong adalah Hae
Mosu yang disebut dengan julukan
laki-laki perkasa atau pangeran surga. Samguk Sagi menulis bahwa Hae Mosu
adalah seorang dewa langit. Lalu Raja Buyeo memberikan tempat perlindungan bagi
Yuhwa dan mengangkat Jumong menjadi putranya, kemudian menjadi pangeran. Konon,
Jumong sangat berbakat, terutama dalam memanah dan berkuda sehingga membuat
putra mahkota cemburu. Putra mahkota berencana membunuh Jumong dan saat
mengetahui rencana itu Jumong melarikan diri dari istana. Prasasti dan
sumber-sumber sejarah Korea saling berlawanan tentang asal dari Jumong.
Prasasti menyebut Jumong berasal dari Buyeo Utara dan babad Samguk Sagi dan
Samguk Yusa menyebut ia dari Buyeo Timur. Jumong tiba di konfederasi Jolbon
Buyeo dan menikahi putri raja penguasanya. Pada akhirnya ia mendirikan Goguryeo
dengan segelintir pengikutnya dari Buyeo.
Nama keluarga Jumong adalah Hae (解), nama pemimpin Buyeo. Menurut Samguk Yusa, Jumong mengubah
nama keluarganya menjadi Go (高),
berdasarkan asal keturunannya yang berpengaruh. Jumong tercatat menundukkan
kerajaan Biryu (沸流國)
di tahun 36 SM, kerajaan Haeng-in (荇人國) di tahun 33 SM, dan Okjeo Utara pada tahun 28 SM.
Ekspansi dan penggabungan suku
Awalnya Goguryeo terbentuk dari
sekelompok suku yang bernama Yemaek menjadi sebuah kerajaan dan secara cepat memperluas wilayah
mereka. Goguryeo terkenal suka menyerbu tetangga mereka untuk memperluas
wilayah kekuasaannya sehingga seringkali ditakuti.
Pada masa pemerintahan Raja Taejo tahun 53 M, 5 kelompok suku digabungkan kedalam 5 wilayah
yang dikuasai Goguryeo. Ia menundukkan suku Okjeo, suku Dongye, dan berbagai suku di Manchuria dan Korea
sebelah utara. Goguryeo tidak segan untuk menyerang distrik Lelang, Xuantu dan Liaodong yang merupakan wilayah Dinasti Han.
Kekuatan Goguryeo yang semakin kuat menyebabkan mereka terus melakukan ekspansi
ke wilayah barat laut Manchuria. Namun, karena tekanan dari Liaodong semakin besar Goguryeo
akhirnya memindahkan ibukota dari lembah Sungai Hun ke lembah Sungai Yalu dekat
Gunung
Wandu.
Perang Goguryeo - Wei
Kekacauan dari pemberontakan
jajahannya (Komander) menyebabkan jatuhnya dinasti Han. Pada saat yang sama
Goguryeo mulai menjalin hubungan dengan Dinasti
Wei yang baru terbentuk. Goguryeo dan
Wei akhirnya bergabung menyerang distrik Liaodong yang berontak pada Diansti
Han. Ketika Liaodong jatuh ke tangan Wei, Goguryeo berbalik menyerang Liaodong
dan Wei kembali berperang dengan Goguryeo tahun 244 M. Goguryeo mengalami
kekalahan dan rajanya melarikan diri ke kerajaan Okjeo.
Kebangkitan
Setelah 70 tahun Goguryeo akhirnya
bangkit lagi dan kembali membangun ibukota di gunung Wandu. Goguryeo menumpas
distrik Tiongkok terakhir di semenanjung Korea, Lelang. Namun Goguryeo sering menghadapi invasi asing dan membuat
statbilitas negara goyah. Pada tahun 342 Dinasti
Yan Awal (Qian Yan) menginvasi Goguryeo.
Lalu pada tahun 371 Raja
Geunchogo dari Baekje menyerbu Goguryeo serta membunuh pemimpinnya, Raja
Gogukwon dan merebut ibukota Pyongyang.
Raja Goguryeo ke-17 Sosurim menjalankan kebijakan isolasi dan mulai menyebarkan agama
Buddha pada tahun 372
Raja Gwanggaeto
Prasasti Raja Gwanggaeto
yang dibuat tahun 414 M, salah satu dari sedikit rekaman tertulis yang tersisa
dari Goguryeo.
Raja Gwanggaeto (berkuasa dari 391 sampai 412 M) disebut-sebut sebagai raja
terkuat Goguryeo karena kekuatannya dalam militer dan melakukan ekspansi.
- Dalam tulisan di prasasti yang didirikan oleh putranya,
Jangsu), disbutkan bahwa Raja Gwanggaeto berhasil dengan
gemilang menaklukkan 64 buah kota dan 1400 desa.
- Raja Gwanggaeto menundukkan Qian
Yan, kerajaan Buyeo
dan suku Mohe.
- Ia juga untuk pertama kalinya membuat penyatuan
Semenanjung Korea dengan menjadikan kerajaan lain di semenanjung Korea
seperti Silla,
Baekje
dan Gaya
sebagai protektorat selama 50 tahun.
- Dalam masa ini Goguryeo menguasai 3/4 wilayah
semenanjung Korea.
- Jangsu yang naik tahta tahun 413 menggantikan
Gwanggaeto, memindahkan ibukota ke Pyongyang tahun 427 dan mulai
meningkatkan hubungan dengan Silla dan Baekje. Pada masa ini wilayah
Goguryeo mencapai batas yang terjauh ke utara yang mencakup sebagian besar
Manchuria dan mencapai wilayah Siberia.
Perselisihan dari dalam
Masa keemasan Goguryeo mencapai
puncak pada abad ke 6 dan setelah itu mulai melemah akibat konflik internal. Raja
Anjang terbunuh tanpa ada penerus dan
digantikan oleh saudaranya Raja
Anwon. Keadaan Goguryeo semakin goyah
saat Yangwon yang merupakan anak tertua raja Anwon yang berusia 8 tahun
di angkat jadi raja ke 23. Melemahnya Goguryeo dimanfaatkan suku barbar
menyerang perbatasan Goguryeo di sebelah utara tahun 550. Pada tahun 551
gabungan Silla dan Baekje mulai menyerang Goguryeo.
Konflik abad ke 6 dan ke 7
Pada abad ke 6 dan ke 7 Goguryeo
mengalami banyak konflik dengan Dinasti Tiongkok seperti Sui dan Tang.
Sedangkan dalam relasi dengan Silla dan Baekje, lebih terlibat konflik maupun
aliansi.
Lepasnya Lembah Sungai Han
Tahun 551 M Baekje dan Silla
bergabung menyerbu Goguryeo dan menduduki lembah Sungai Han yang subur. Silla kemudian mengkhianati perjanjian dengan
Baekje dan merebut lembah tersebut pada tahun 553. Pada tahun selanjutnya Raja
Seong dari Baekje terbunuh setelah berusaha menyerang batas barat Silla.
Hilangnya wilayah yang subur ini menyebabkan Goguryeo jadi semakin lemah.
Perang Goguryeo – Sui
Dinasti Sui yang tumbuh tahun 581 mulai berkembang kuat di Tiongkok.
Ekspansi Goguryeo menyebabkan banyak konflik dengan Sui. Pada tahun 598, Sui
menyerang Goguryeo dan berlanjut pada tahun 612, 613, dan 614 tapi selalu
gagal. Perlawanan Sui terbesar terjadi tahun 612 ketika Sui mulai menyerbu
Pyongyang dengan tiga ratus ribu tentara. Goguryeo dibawah Jenderal Eulji
Mundeok mampu mematahkan invasi pasukan Sui. Goguryeo menggunakan siasat dengan
mengumpan tentara Sui ke dalalm perangkap di luar Pyongyang. Pada Pertempuran di Sungai Salsu pasukan Goguryeo membuka bendungan dan menenggelamkan
sebagian besar pasukan Sui. Dari 300.000 pasukan Sui hanya 2700 orang yang
selamat. Perang tersebut menghabiskan keuangan Sui dan meruntuhkannya tahun
618.
Perang Goguryeo – Tang dan Aliansi Tang –
Silla
Setelah Sui runtuh, Dinasti Tang di
bawah Kaisar
Taizong muncul dan mulai berkampanye
menentang Goguryeo, namun banyak dari penyerangan yang dilakukan gagal. Tahun
642 raja ke 27 Goguryeo, Raja
Yeongnyu terbunuh dalam kudeta jenderal
diktator Yeon Gaesomun.
Di tahun 645 Taizong kembali
melakukan penyerangan terhadap Goguryeo. Di bawah pimpinan Jenderal Yeon
Gaesomun dan Yang
manchun, pasukan Goguryeo kembali berhasil
memukul mundur pasukan Tang dalam pertempuran di Benteng
Ansi. Setelah kematian kaisar Taizong
649, Tang kembali berusaha menaklukkan Goguryeo pada tahun 661 dan 662, namun selama
Yeon Gaesomun masih memimpin, tak satupun serangan itu berhasil.
Keruntuhan
Pada tahun 660 sekutu Goguryeo di
barat laut, Baekje, berbalik bergabung ke pihak aliansi Tang dan Silla dan
terus melakukan serangan selama 8 tahun berikutnya. Sementara itu Jenderal Yeon
Gaesomun meninggal tahun 666 dan kepemimpinannya dilanjutkan oleh ke 3 anak
laki-lakinya.
Kekalahan mulai dirasakan Goguryeo
ketika anak dari Yeon Gaesomun, Yeon Namsaeng
kalah dalam pertempuran dan merelakan kota-kota di utara Goguryeo diduduki
Tang. Pasukan Tang lalu berhasil merebut ibukota Pyongyang.
Sementara itu dari arah selatan, Jenderal Silla, Kim Yu-shin,
juga menyerang dan berhasil menaklukkan pemimpin perang Goguryeo yang merupakan
adik dari Yeon Gaesomun, Yeon
Jeongto. Tahun 668, raja terakhir Goguryeo,
Raja
Bojang berhasil ditawan oleh pasukan Tang,
dan menandai runtuhnya kerajaan yang memang sudah lemah karena bencana
kelaparan dan pemberontakan internal itu.
Pergerakan kebangkitan
Silla mengambil alih semenanjung
Korea dan menyatukannya, serta mulai memberontak terhadap Tang. Tang kemudian
menjadikan wilayah Goguryeo sebagai "Prektorat Andong" atau
"Prektorat yang Mengamankan Wilayah Tmur" yang dipimpin tokoh dari
Tang, Xue Rengui, namun kekuasaan Silla hanya sampai batas Sungai Taedong
yang melewati Pyongyang.
Prektorat Andong yang dipimpin Xue
Rengui mengalami kesulitan memerintah wilayahnya dikarenakan keengganan warga
Goguryeo mengakui pemerintahan Tang. Tang akhirnya membebaskan Raja Bojang dan
menempatkannya sebagai pemimpin Prektorat Andong. Raja Bojang kembali melakukan
usaha pemberontakan terhadap Tang. Raja Bojang akhirnya diasingkan ke Sichuan, Tiongkok
tahun 681, dan meninggal pada tahun berikutnya.
Mantan jenderal Goguryeo yang
memberontak Dae
Jungsang dan Dae
Joyeong merebut kembali wilayah Goguryeo
paling utara setelah kejatuhannya tahun 668 dan mendirikan kerajaan yang
disebut Hu-Goguryeo atau "Goguryeo Selanjutnya", lalu setelah
kematian Dae Joyeong, diubah menjadi Balhae. Balhae menyatakan bahwa Goguryeo adalah leluhur mereka.
Militer
Goguryeo dikenal sebagai kerajaan
yang memiliki militer yang sangat kuat, terutama pada masa keemasan di
pemerintahan Raja Gwanggaeto yang Agung. Goguryeo tercatat memiliki tentara
berkuda yang banyak, pemanah yang handal dan tentara yang memakai helm, baju
besi dan pisau pada sepatunya. Setiap laki-laki dewasa di Goguryeo diwajibkan
ikut dalam militer dan bisa menghindari hanya dengan membayar pajak beras.
Kebudayaaan
Tidak banyak yang diketahui mengenai
budaya orang Goguryeo karena sedikitnya bukti yang tersisa atau hilang.
Bukti-bukti yang ada hanya tersisa pada kuburan-kuburan tua yang berserakan di
wilayah propinsi Jilin dan Liaoning di Manchuria dan juga di wilayah Korea Utara.
Di kuburan-kuburan tersebut banyak ditemukan lukisan-lukisan dinding yang
menggambarkan kepercayaan dan kehidupan bangsa Goguryeo pada saat itu. Bangsa
Goguryeo dipercaya para ahli menggunakan bahasa yang digolongkan ke dalam
bahasa Altaik-Tungusik serta menggunakan penulisan Tionghoa klasik.
Hubungan
politis dan budaya dengan Tiongkok
Berdasarkan Wei Cuncheng, seorang
peneliti dari Proyek
Timur Laut, menyatakan bahwa dalam hubungan
dengan Tiongkok yang sering diwarnai permusuhan, Goguryeo juga punya hubungan
politik yang dekat dengan dinasti-dinasti Tiongkok. Mereka memberi upeti dan
memiliki gelar serupa dengan gelar penguasa Tiongkok. Sejak lama Goguryeo
membayar upeti seperti kuda dan perhiasan, untuk menunjukkan sikap tunduk. Dan
pengubahan gelar penguasa sebenarnya juga adalah sikap tunduk terhadap
dinasti-dinasti Tiongkok.
Penelitian yang dilakukan oleh
sejarawan Jepang menunjukkan bahwa dari tahun 32 Sebelum Masehi sampai 666
Masehi, Goguryeo membayar 205 upeti ke dinasti-dinasti Tiongkok. Dari tahun 32
SM sampai 391 M, Goguryeo hanya membayar 17 upeti. Namun antara tahun 423 M –
666 M, mereka membayar 188 upeti. Berdasarkan analisis dari sejarawan RRC,
Goguryeo membayar upeti lebih sedikit pada awalnya dikarenakan mereka dianggap
sebagai penguasa lokal oleh Dinasti Han
dan tidak perlu membayar upeti.
Baik catatan sejarah Korea dan
Jepang menyebutkan bahwa raja-raja Goguryeo secara rutin membayar upeti pada
masa-masa belakangan. Menurut Buku
Sejarah Jin dan Samguk Sagi, pada tahun 355 M, Dinasti
Yan memberi gelar Penguasa Lelang (乐浪公)
kepada Raja Gogugwon. Pada tahun 413, Kaisar Jin Timur menggelari Raja Jangsu
Raja Goguryeo (高句麗王),
Penguasa Lelang (乐浪公), dan Jenderal Ekspedisi Timur (征东大将军).
Setelah meninggalnya Raja Jangsu tahun 491 M, Dinasti
Wei Utara menggelari Raja Munjamyeong
Jenderal Ekspedisi Timur (征东大将军), Penguasa Liaodong (辽东郡开国公),
dan Raja Goguryeo (高句麗王).
Pada tahun 520 M, penerus Raja Munjamyong, Raja Anjang digelari dinasti Wei
Utara dengan Jenderal Pelindung Timur (安东将军),
Raja Goguryeo (高句麗王),
dan Penguasa Liaodong (辽东郡开国公). Setelah kematian Raja Anjang tahun 531, pada tahun
berikutnya Dinasti Wei Utara memberi Raja Anwon gelar Jenderal Cheji (车骑大将军),
Penguasa Liaodong (辽东郡开国公), dan Raja Goguryeo (高句麗王). Pada tahun 550, Dinasti
Qi Utara memberi Raja Yangwon gelar Jenderal
Cheji (车骑大将军),
Penguasa Liaodong (辽东郡开国公), dan Raja Goguryeo (高句麗王). Pada tahun 560 Dinasti Qi Utara menggelari Raja Pyeongwon
Penguasa Liaodong (辽东郡开国公), dan Raja Goguryeo (高句麗王). Pada tahun 590 Dinasti Sui
meggelari Raja Yeongyang Penguasa Liaodong (辽东郡开国公). Setelah berdirinya Dinasti Tang, Raja Yeongnyu diberi
gelar Penguasa Liaodong dan Raja Goryeo (高麗王). Gelar terakhir yang diberikan pada Raja Goguryeo adalah
pada tahun 643 oleh Kaisar Tang Taizong.
Ia memberi gelar Penguasa Liaodong (辽东郡开国公) dan Raja Goryeo (高麗王) pada Raja Bojang. Catatan sejarah baik dari Korea maupun
Tiongkok menunjukkan bahwa pemberian gelar tersebut adalah cara dari para
penguasa Tiongkok untuk mengenakan peraturan tidak langsung kepada Goguryeo,
dan hal itu telah diinstitusionalkan sejak Dinasti Jin Timur
sampai Dinasti Tang, dengan tiap Raja Goguryeo dari Raja Jangsu sampai Bojang
menerima gelar dari dinasti-dinasti Tiongkok.
Politik
modern
Secara tradisional Goguryeo
dipandang sebagai salah satu Tiga Kerajaan Korea dan secara etnis adalah bangsa Korea
oleh sumber-sumber yang bukan berasal RRT. (Britannica , Encarta 2007, CIA
World Factbook 2007, dan Columbia Encyclopedia 2005)
RRT yang saat ini menganggap
Goguryeo sebagai salah satu dinasti kuno Tiongkok telah menciptakan sengketa panas
antara RRT dan kedua Korea. Masalah kontroversi yang sebenarnya adalah apakah
Goguryeo adalah bagian dari dinasti Tiongkok atau kerajaan Korea yang
independen.
RRT lebih memandang Goguryeo sebagai
bagian dari sejarah regional Tiongkok bukannya Korea. Sejarawan RRT Sun Jinji
pada tahun 1986 menyebutkan bahwa Goguryeo tidak memiliki hubungan apapun
dengan sejarah kerajaan-kerajaan di semenanjung Korea. Ia menekankan bahwa
“suku Buyeo dan Goguryeo adalah masyarakat yang masih memiliki hubungan dengan
suku-suku di Manchuria, sementara orang Korea berasal dari Silla.”(Sun 1986,
Yonson 2006). Pandangan ini didukung oleh beberapa sejarawan besar RRT.
Bagaimanapun juga tidak semua sejarawan RRT sependapat. Adapula dari mereka
yang menyatakan bahwa sejarah Goguryeo dimiliki bersama antara kedua pihak, RRT
dan Korea dalam “kerangka 2 elemen dari sebuah sejarah” (一史两用论,
yishi liangyong lun).(Sun 2004a). Baru-baru ini Akadaemi China untuk Ilmu
Pengetahuan Sosial (Chinese Academy of Social Sciences) memunculkan kontroversi
baru melalui Proyek Timur Laut-nya di propinsi-propinsi timur laut. Argumen
warga RRT atas warisan sejarah Goguryeo didasarkan pada 2 hal: pertama Goguryeo
berkembang dari komander Xuantu Dinasti Han; lalu mereka menganggap Goguryeo
dan Balhae didirikan
oleh suku Mohe, nenek moyang bangsa Manchu, pendiri Dinasti Qing (Sun 2004b,
Yonson 2006). Analisis ini telah menimbulkan ketegangan hubungan RRT-Korea
Selatan.
Dalam pernyataanya, Mark Byington,
sejarawan AS yang mendalami sejarah Korea di Korea Institute, suatu fakultas
terpisah di Universitas Harvard memandang posisi klaim RRT sangat lemah hanya
karena wilayah Goguryeo sekarang mencakup wilayah negara RRT maka ia dianggap
sebagai warisan dari sejarah Tiongkok kuno (Byington 2004a)
Silla (tahun 57 Sebelum Masehi - 935 Masehi), seringkali
diucapkan Shilla, adalah salah satu dari Tiga Kerajaan Korea. Silla bermula dari kerajaan kecil di Konfederasi Samhan. pada tahun 660 Masehi Silla bersekutu dengan Dinasti Tang
berhasil menaklukkan kerajaan Baekje serta Goguryeo pada tahun 668. Pada masa penyatuan ini seringkali disebut
sebagai masa Silla Bersatu atau Silla Selanjutnya (Hu-silla) dimana wilayah
kekuasaannya mencakup semua bagian Semenanjung Korea,
sementara sebelah utaranya adalah wilayah kekuasaan kerajaan baru, yang
merupakan penerus dari kerajaan Goguryeo, Balhae. Setelah hampir 1000 tahun, Silla terpecah menjadi
negeri-negeri kecil yang mengantarkan Korea pada masa Tiga
Kerajaan Akhir Korea, dan sampai pada akhirnya semuanya
diserap oleh kerajaan baru, Dinasti Goryeo
tahun 935.
Nama
Dari awal pendirian sampai
perkembangannya menjadi kerajaan yang besar, nama Silla tercatat dalam banyak karakter Tionghoa
(hanja) yang
secara fonetis mungkin ditulis berdasarkan nama dugaan dari bahasa Korea kuno
yaitu: Saro; 斯盧,
Sara; 斯羅, Seora-beol; 徐羅(伐),
Seona-beol; 徐那(伐), Seoya-beol; 徐耶(伐),
atau pun Seo-beol; 徐伐.
Arti kata-kata dugaan dari bahasa Silla itu kemungkinan adalah ibukota,
walaupun masih menjadi teka-teki. Pada tahun 503, Raja Jijeung menetapkan tulisan hanja “新羅” yang dibaca Silla dalam bahasa Korea modern. Karena orang
Korea kini seringkali mempalatalisasikan abjad maka penyebutan kata “Silla” terdengar seperti
“Shilla” di telinga pendengar bahasa lain.
Kata yang paling mendekati adalah
Seora-beol, dapat ditelusuri dari unsur bahasa Silla, syeo-beul, yang berarti
ibukota kerajaan, yang kemudian berubah menjadi Syeo-ul, dan akhirnya Seo-ul.
Seoul yang kini dikenal adalah ibukota Korea setelah berakhirnya masa Dinasti
Joseon, dimana nama saat itu adalah Hanseong atau Hanyang.
Nama Silla pada zaman kuno dikenal
luas oleh masyarakat Asia Timur Laut. Orang Yamato menyebutnya Shiragi, orang Jurchen (nenek moyang bangsa Manchu menyebut Solgo atau Solho. Dalam bahasa
Tionghoa penyebutannya adalah Shin Luo.
Sejarah
Para ahli sejarah secara tradisional
membagi sejarah Silla menjadi 3 bagian periode: awal (57 SM-654 M), tengah
(654-780) dan akhir (780-935).
Perubahan
kekuasaan
Silla diperintah oleh 3 keluarga
(klan) kuat selama berdirinya, yaitu Bak (Park), Seok, dan Kim. Klan Bak sebagai pendiri berkuasa lebih dari 3 generasi
sebelum menghadapi pemberontakan oleh klan Seok. Dalam masa-masa pemerintahan
pertama raja keluarga Seok, Raja Talhae,
klan Kim berperan sebagai klan aristokrat (bangsawan).
Ketiga klan ini saling berebut kekuasaan sepanjang sejarah Silla.
Pendirian
Dalam masa Proto
Tiga Kerajaan (masa sebelum Tiga Kerajaan), negara-negara
kecil di bagian tengah dan selatan semenanjung Korea dikelompokkan ke dalam 3
konfederasi (negara bagian) bernama Samhan. Salah satunya bernama Jinhan yang memiliki 12 buah bagian-bagian yang lebih kecil. Salah
satunya adalah negeri Saro (Saro-guk) yang merupakan asal dari Silla.
Negeri Saro terbagi atas 6 desa dengan 6 kelompok klan.
Berdasarkan babad Goryeo Samguk Sagi yang ditulis pada abad ke-12, Silla didirikan oleh
seseorang bernama Bak Hyeokgeose tahun 57 SM di kota yang sekarang adalah Gyeongju. Menurut
legenda Bak Hyeokgeose lahir dari telur kuda putih. Ketika berusia 13, ke-6
kelompok klan mengangkatnya jadi pemimpin negeri Saro.
Pembuktian lewat bukti arkeologis
menunjukkan bahwa walau ada negara yang berdiri pada masa itu di wilayah
Gyeongju, masih terlalu dini untuk menyebut Silla sebagai sebuah kerajaan.
Penulis Samguk Sagi dari zaman Goryeo, Kim Bu-sik, mungkin mencoba untuk mengesahkan bukti berdirinya Silla
dengan memberi senioritas historis di atas rivalnya, Baekje dan Goguryeo.
Sejarah
awal
Dalam masa kekuasaanya, tampuk
kepemimpinan Silla berganti-ganti dengan peran 3 klan terkuat.
Mulai abad ke-2 M, Silla baru muncul
sebagai kerajaan yang berkembang pesat di bagian tenggara semenanjung Korea.
Silla memperluas kekuasaan dan pengaruh atas Konfederasi Jinhan pada abad ke-3
dan terus menjadi kuat.
Di bagian barat Baekje telah berdiri kokoh sejak tahun 250 setelah menundukkan Konfederasi Mahan.
Di bagian barat daya, Konfederasi Gaya
muncul dan mengambil alih Konfederasi Byeonhan. Sementara di utara, Goguryeo yang
sejak tahun 50 mulai berdiri kokoh, berhasil mengusir perwakilan militer
Tiongkok terakhir dari semenanjung Korea pada tahun 313 dan terus mengancam
para tetangganya.
Berkembang
jadi kerajaan
Raja Naemul (berkuasa 356-402) dari klan Kim menetapkan sistem monarki yang
turun-temurun. Gelarnya kini telah menjadi Maripgan (han atau gan), yaitu gelar
serupa dengan khan pada orang Turkik
dan Mongol. Pada
377, ia mengirim utusan dan menjalin hubungan dengan Goguryeo.
Silla mencoba mendekati Goguryeo
karena sedang mengalami tekanan dari Baekje dan Negeri Wa[1]. Namun
saat Goguryeo mulai memperluas teritori ke selatan dan memindahkan ibukotanya
ke Pyongyang
tahun 427, Raja Nulji mencoba mengadakan persekutuan dengan Baekje.
Pada masa Raja Bopheung (514-540), Silla telah mencapai titik penuh sebagai negara
kuat. Ia pun telah menggunakan Buddhisme
sebagai agama negara dan mengendalikan negara-negara kecil di sekitarnya.
Sekitar tahun 530-an Konfederasi Gaya
dapat ditaklukkannya.
Pada masa Raja Jinheung (540-570), Silla mengembangkan armada perang yang kuat. Ia
pernah membantu Baekje merebut wilayah Sungai Han
yang diduduki Goguryeo namun pada tahun 553 merebut wilayah itu dari Baekje,
mengakhiri 120 tahun aliansi kedua kerajaan itu. Peiode awal Silla berakhir
dengan wafatnya Ratu Jindeok pada tahun 654.
Silla
Bersatu
- Pada abad ke 7 Masehi, Silla menjalin hubungan dengan
Dinasti Tang dari Tiongkok.
- Pada tahun 660 di bawah pemerintahan Raja Muyeol
(berkuasa 654-661), berhasil menundukkan Baekje.
- Pada tahun 668, di bawah kekuasaan Raja Munmu Besar dan
Jenderal Kim Yu-shin dengan bantuan militer Dinasti Tang, berhasil
mengalahkan Goguryeo. Seluruh semenanjung Korea berhasil disatukan Silla
setelah hampir 10 tahun mengusir seluruh koloni Dinasti Tang di sebelah
utara. Para pelarian Goguryeo mendirikan negeri baru di timur laut
semenanjung Korea bernama Balhae.
Para anggota keluarga pemimpin pada
zaman Silla Bersatu digolongkan ke dalam sistem kelompok Jin-gol
(keturunan tulang murni) dan Seong-gol (tulang suci) berdasarkan
keturunan orang tuanya. Selain itu, sebagai akibat dari penyatuan
wilayah-wilayah semenanjung Korea, para keluarga bangsawan semakin banyak
mengumpulkan kekayaan. Pada masa-masa awal unifikasi terjadi beberapa kali
pemberontakan oleh para pejabat istana, namun dapat ditekan oleh keluarga
kerajaan dengan memindahkan mereka ke dalam jabatan-jabatan pusat. Untuk waktu
yang lama, sekitar 1 abad (dari akhir abad ke-7 sampai akhir abad ke-8),
kerajaan mengganti sistem penggajian pejabat dengan memberi tanah (no-geup)
dengan sistem jikjeon atau dengan membayar gaji saja.
Akhir abad ke-8, klan Kim mulai
menolak penggunaan sistem ini dan mulai memberontak. Pemberontakan terbesar
adalah pembangkangan Kim
Dae-gong yang berlangsung 3 tahun.
Periode tengah Silla berakhir dengan
pembunuhan Raja Hyegong tahun 780 yang mengakhiri suksesi dari Raja Muyeol,
tokoh penyatu Tiga Kerajaan. Kematiannya adalah puncak perselisihan panjang antar klan
dalam kerajaan yang melibatkan sebagian besar anggota keluarga bangsawan.
Akibatnya keluarga bangsawan muncul
sebagai kekuatan utama bagian internal sementara peran raja hanya sebagai tokoh
kepala saja. Namun begitu, periode ini menyaksikan negeri ini pada titik
puncak, dengan kuatnya hubungan dan konsolidasi keluarga kerajaan serta berhasilnya
usaha mempraktekkan sistem birokrasi cara Tiongkok.
Penurunan
dan kejatuhan
Akhir dari periode ini dinamakan Zaman Tiga
Kerajaan Akhir, saat beberapa kerajaan yang
mengatasnamakan pendahulunya bangkit dan memberontak seperti Hubaekje dan Hugoguryeo.
Silla sendiri jatuh ke dalam pemberontakan dinasti baru, Goryeo pada tahun 935.
Politik
dan sosial
Dari abad ke-6, Silla menetapkan
sistem yang ketat dalam bidang birokrasi
dan hukum. Pangkat
dan status sosial pejabat diukur berdasarkan sistem ranking tulang. Begitu pula pada cara berpakaian, bentuk rumah dan jumlah
perkawinan yang diperbolehkan, semuanya diatur menurut hukum tertentu. Kelas
anggota keluarga kerajaan dibagi menjadi 2, yaitu kelas tulang suci
(seong-gol) dan tulang murni (jin-gol). Sistem ini berakhir ketika
penguasa terakhir dari kelas tulang suci, Ratu Jindeok wafat pada tahun 654. Jumlah bangsawan dari kelas tulang
suci pun semakin menurun karena calon raja/ratu hanya boleh berasal dari
keturunan yang kedua orang tuanya berasal dari kelas tulang suci, sementara
keturunan dari orang tua tulang suci yang menikah dengan kelas tulang murni
dianggap masuk ke kelas tulang murni.
Sejak menguatnya kebijakan negara
yang tersentralisasi, masyarakat Silla juga dipengaruhi oleh kebijakan
aristokrat yang ketat. Sistem birokrasi negara pun mengadopsi cara Tiongkok untuk
mengurus wilayah yang sangat luas. Sebelum masa unifikasi, Raja Silla
menganggap dirinya sangat besar dan menyamai sang Buddha. Sedangkan hal-hal
mencolok yang mewarnai periode setelah unifikasi adalah meningkatnya konflik
antar kelompok, antara keluarga kerajaan dengan bangsawan.
Budaya
Ibukota Silla adalah Seora-beol
(saat ini Gyeongju). Di sana sejumlah besar makam Silla masih bisa ditemui di
pusat kota Gyeongju. Kuburan-kuburan raja Silla yang berbentuk gundukan
bukit-bukit kecil serta benda-benda berharga dari zaman itu dapat ditemukan di
seluruh wilayah Gyeongju. Wilayah
Bersejarah Gyeongju dimasukkan oleh UNESCO dalam daftar Warisan Dunia
pada tahun 2000[2].
Sebagian besar dari kota kuno Silla ini juga dilindungi dalam wilayah Taman Nasional Gyeongju[3]
.
Peniggalan-peninggalan termashyur
Silla di Gyeongju:
- Lonceng Perunggu Raja Seongdeok.
- Cheomseongdae,
observatori astronomi tertua di Asia Timur
yang dibangun pada masa Ratu
Seondeok (berkuasa 623-647).
Silla juga terkenal di kalangan
pedagang Muslim Timur Tengah
yang pergi berdagang ke Tiongkok lewat jalur sutra.
Ahli geografi Arab dan Persia seperti Ibn Khuradhih, Al-Masudi, Dimashiki, Al-Nawairi dan
Al-Maqrizi menuliskan catatan-catatan tentang Silla.
Buddhisme
Raja Bopheung secara resmi masuk agama Buddha
pada tahun 527, walau sebenarnya sudah diperkenalkan sejak lebih dari 100 tahun
sebelumnya di Silla. Buddhisme diperkenalkan ke Silla oleh Biksu
A-do, seorang pelarian Goguryeo pada
pertengahan abad ke-5. Cerita menyebutkan bahwa Raja Bopheung memeluk agama
Buddha setelah mengeksekusi seorang bangsawan istana bernama Ichadon hanya
karena ingin darahnya berwarna putih susu.
Buddhisme di Silla lebih kuat
dibanding di Goguryeo atau Baekje karena merupakan agama negara. Dari Raja
Bopheung sampai 6 penguasa berikutnya, menggunakan nama
Buddhis dan menganggap diri mereka setara
dengan Buddha. Dalam hal pertahanan negara dibentuklah barisan militer Hwarang, para
pemuda yang memiliki pemahaman Buddhisme yang kuat. Mereka juga memainkan
perang penting dalam penyatuan semenanjung. Masa-masa akhir periode awal Silla
adalah saat Budhisme mencapai puncak. Sejumlah besar kuil didirikan dengan dana
dan sponsor bangsawan. Yang paling terkenal adalah Bulguksa, Seokkuram,
dan Hwangyongsa (Kuil Kaisar Naga) yang dibangun dengan 9 tingkat pagoda
kayu, melambangkan 9 buah negeri yang bersatu dalam Silla. Hwangyongsa runtuh
karena terbakar dalam invasi Mongol ke Goryeo abad ke-12. Kuil Buddha Silla melambang kekuatan kerajaan
dan peran Buddhisme dalam ekspansi dan proteksi negara.
Dengan bersatunya Tiga Kerajaan dalam Silla Bersatu, agama Buddha kurang menjadi begitu
penting saat negara mulai mengadopsi metode birokrasi Tiongkok untuk mengelola
negara yang semakin besar dan juga untuk mengekang kekuasaan keluarga
bangsawan. Namun Buddhisme tetap mendapat tempat khusus rakyat Silla. Banyak
dari biksu-biksu pergi ke Tiongkok belajar dan mencari sutra. Hasil
seni dan kerajinan Silla sangat dipengaruhi unsur-unsur Buddhisme yang kental.
Baekje
Kerajaan Baekje didirikan oleh Raja Onjo, putra ke-3 dari Jumong, raja pendiri Goguryeo. Baekje beribukotakan di Wiryeseong, yang saat ini dekat dengan kota Seoul. Puncak keemasan Baekje terjadi pada abad ke-4 Masehi ketika kekuasaannya meliputi wilayah semenanjung Korea sebelah barat daya sejauh kota Pyongyang. Baekje runtuh tahun 660 setelah dikalahkan oleh gabungan Silla dan Dinasti Tang, lalu setelah itu menjadi wilayah kekuasaan Silla Bersatu.
Samguk sagi memberikan penjelasan detail mengenai pendirian Baekje. Jumong meninggalkan putranya Yuri di Buyo ketika ia meninggalkan kerajaan tersebut untuk mendirikan Goguryeo . Jumong bergelar Dongmyeongseong setelah diangkat jadi raja di Goguryeo. Ia mempunyai 2 putra lagi dari istri ke-2 nya di Goguryeo , yaitu Onjo dan Biryu. Ketika Yuri datang ke Goguryeo , Jumong langsung menggelarinya sebagai putra mahkota. Mengetahui bahwa Yuri akan dijadikan raja selanjutnya, Onjo dan Biryu memutuskan untuk hijrah ke selatan bersama 10 orang budak.
Onjo menetap di Wiryeseong (sekarang Hanam) dan mendirikan kerajaan yang disebut Sipje ("Sepuluh Budak"), sementara Biryu menetap di Michuhol (sekarang Incheon). Sipje hidup dengan makmur, sedangkan Biryu harus bertahan susah payah karena Michuhol berair asin dan tanahnya berawa-rawa. Biryu lalu pergi menuju Wiryeseong untuk meminta Onjo menyerahkan tampuk kepemimpinan padanya, namun Onjo menolak dan membuat Biryu mendeklarasikan perang. Biryu kalah dalam perang tersebut dan bunuh diri karena malu. Para pengikut Biryu pindah ke Wiryeseong dan diterima senang hati oleh Onjo. Onjo lalu mengganti nama kerajaanya dengan :"Baekje" atau "Seratus Budak".
Karena adanya tekanan dari negara bagian lain dari Konfederasi Mahan (Baekje pada awalnya merupakan negara bagian dari Konfederasi Mahan), Raja Onjo memindahkan ibukota dari selatan ke sebelah utara sungai Han, lalu pindah lagi ke selatan. Raja Gaeru memindahkan ibukotanya ke Gunung Buk (Bukhan) tahun 132 M di wilayah yang diperkirakan dekat dengan kota Kwangju saat ini.
Baekje perlahan-lahan menjadi kuat dan mulai mengendalikan banyak negara bagian Mahan. Masa ini disebut zaman Proto Tiga Kerajaan.
Ekspansi
Dalam masa pemerintahan Raja Goi tahun 234-286, Baekje menjadi kerajaan
seutuhnya. Babad Jepang, Nihon Shoki menyebutkan ekspansi Baekje mencapai
wilayah Konfederasi Gaya di
lembah Sungai Nakdong di sebelah tenggara semenanjung Korea. Rekaman
sejarah Tiongkok pertama menyebutkan Baekje sebagai sebuah kerajaan adalah pada
tahun 345. Misi diplomatik pertama dari Baekje yang mencapai Jepang berdasarkan
Nihon Shoki adalah pada tahun 367.Raja Geunchogo (berkuasa dari 346-375) menyatukan berbagai negara bagian Konfederasi Mahan serta memperluas teritorinya ke utara melawan Goguryeo. Dalam masa pemerintahannya wilayah Baekje meliputi wilayah Korea sebelah barat, dan pada tahun 371 pernah mengalahkan Goguryeo dalam perang di Pyongyang. Baekje juga tercatat pernah menjalin hubungan dagang dengan Goguryeo , mengadopsi kebudayaan dan teknologi Tiongkok, serta menganut agama Buddha pada tahun 384.
Baekje yang mempunyai armada laut yang kuat, menjalin hubungan baik dengan pemimpin Jepang pada zaman yamato. Baekje mentransfer tulisan hanja, agama Buddha, kemampuan membuat tembikar, upacara penguburan dan berbagai bentuk kebudayaan lain kepada Jepang melalui bangsawan, seniman, ahli, dan pendeta Buddhanya.
Periode
Ungjin
Ibukota Baekje pindah ke Ungjin (sekarang Gongju) dari tahun 475-538. Hal ini disebabkan perang dengan Goguryeo yang
menyebabkan Wiryeseong jatuh ke tangan Goguryeo . Nihon Shoki menyebutkan bahwa
Ungjin diberikan oleh kaisar Jepang kepada Raja Munju, yang menunjukkan bahwa wilayah ini
dikuasai oleh Jepang (terletak di Korea). Ungjin terletak di dalam wilayah
pegunungan, sehingga terisolasi dari dunia luar. Pada periode ini Baekje
membentuk aliansi bersama Silla untuk melawan Goguryeo.
Periode
Sabi
Periode Sabi berlangsung dari
tahun 538-660, saat tahun 538 Raja Seong memindahkan lagi ibukota ke Sabi (saat ini kabupaten Buyo). Masa ini Baekje berkembang pesat, dan secara
resmi nama lainnya adalah Nambuyo (Buyo Selatan), yang diambil
dari Kerajaan Buyo, asal muasal dari Baekje.Raja Seong mempererat hubungan dengan Tiongkok dalam bidang perdagangan dan diplomasi selama abad ke-6 dan ke-7. Sementara itu, hubungan dengan Silla semakin merenggang.
Kejatuhan
dan Pergerakan Kebangkitan
Pada than 660, tentara aliansi Silla dan Dinasti Tang menyerang Baekje. Kota Sabi jatuh ke
tangan Silla, sementara Raja Uija dan putranya diasingkan ke Tiongkok.
Beberapa anggota kerajaan lain melarikan diri ke Jepang. Sisa-sisa warga Baekje
berupaya mengadakan pergerakan kebangkitan di dalam kekuasaan aliansi Silla dan
Tang yang memiliki tentara mencapai 130.000 orang. Jenderal Boksin menunjuk pangeran Buyo Pung (putra Raja Uija yang selamat) sebagai
raja baru Baekje. Baekje meminta pertolongan pada Pangeran Naka no Ōe (yang nanti menjadi Kaisar Tenji) dari Jepang. Pangeran Naka no Ōe mengirimkan Abe no Hirafu, seorang gubernur propinsi Koshi ke Baekje.Pada tahun 663, sisa-sisa tentara Baekje bergabung dengan tentara Jepang dalam pertempuran di atas air melawan Silla dalam Perang Baekgang. Tang juga mengirimkan 7000 tentara dan 170 kapal perang. Baekje menderita kekalahan setelah terjadi 5 kali pertempuran di sungai Geum selama bulan Agustus tahun 663.
Struktur
Sosial dan Politik
Raja Goi pertama kali menerapkan
sistem patrilineal yang melestarikan suksesi kerajaan.Pada awal periode Baekje, Hae dan Jin adalah dua klan yang berpengaruh, sebagian besar ratu berasal dari kedua klan ini dan suksesi ini berlangsung dalam waktu yang lama. Kemungkinan besar klan Hae adalah klan yang menguasai tampuk kerajaan sebelum digantikan oleh klan Buyo. Kedua klan ini kemungkinan juga berasal dari Kerajaan Buyo di utara. Klan Hae dan Buyo bersama 7 klan yaitu Sa, Yeon, Hyeop, Jin, Guk, Mok, dan Baek adalah klan-klan kuat di masa Sabi.
Pegawai kantor kerajaan dibagi ke dalam 16 ranking, 6 orang anggota pertama dari ranking membentuk sebuah kabinet, dengan pemimpin dipilih setiap 6 tahun sekali. Dalam ranking Sol, pegawai pertama (Jwapyeong) sampai ke-6 (Naesol) bertanggung jawab dalam urusan politik, adminstrasi, dan militer. Dalam tingkat Deok, pegawai ke-7 (Jangdeok) sampai ke-11 (Daedeok) mungkin ditugaskan dalam banyak bidang, sedangkan tingkatan Mundok, Mudok, Jwagun, Jinmu dan Geuku bertanggung jawab sebagai administrator kemiliteran.
Bahasa
dan Kebudayaan
Baekje didirikan oleh imigran
dari Goguryeo yang berbicara bahasa Buyo, yang masih berhubungan dengan bahasa kerajaan Gojoseon dan Kerajaan Buyeo. Sedangkan rakyat Samhan (yang pernah menguasai Baekje) kemungkinan
berbicara dalam bahasa yang sama namun mempunyai dialek atau variasi bahasa berbeda dengan bahasa Buyo,
karena nenek moyangnya berasal dari tempat yang sama, namun orang Samhan sudah
datang ke selatan terlebih dahulu.Seniman Baekje mengadopsi budaya Tionghoa dan menyesuaikannya menjadi tradisi yang unik. Hasil karya seni Baekje sangat dipengaruhi oleh agama Buddha. Keindahan seni Baekje terlukis dalam Senyum Baekje yang terdapat pada banyak karya seni dan patung Buddha. Pada masa Sabi di tahun 541, banyak seniman dari Tiongkok (Dinasti Liang) dikirim ke Baekje, sehingga semakin memperluas pengaruh Tiongkok pada kebudayaan Korea. Namun, pengaruh asli Baekje tidak hilang begitu saja. Makam raja Muryeong (berkuasa 501-523) walaupun dimodelkan dari Tiongkok namun tidak menghilangkan tradisi asli Baekje. Dalam makam tersebut ditemukan ornamen khas Baekje seperti mahkota, ikat pinggang emas, dan giwang emas. Karya seni khas Baekje yang lain adalah desain genting batu bebentuk lotus, pola batu bata yang menjalin, lekukan dalam gaya keramik, bentuk epitaph yang elegan, ukiran-ukiran Buddha, pagoda, pembakar dupa dan sebagainya.
Sedikit yang diketahui mengenai musik Baekje, namun, musisi-musisinya pernah dikirim ke Tiongkok pada abad ke-7 untuk belajar.
Hubungan
dengan Tiongkok
Pada tahun 372, Raja Geunchogo
membayar upeti kepada Dinasti Jin di Tiongkok yang terletak di lembah sungai Yangtze. Setelah kejatuhan Jin dan berdirinya Dinasti
Song pada tahun 420, Baekje kembali mengirimkan utusan untuk berdagang barang-barang kultural dan teknologi Tiongkok.
Baekje mengirimkan utusan ke Wei Utara pada tahun 472 untuk pertama kalinya, dan Raja Gaero meminta bantuan militer guna melawan Goguryeo. Raja Muryeong dan putranya, Raja Seong juga mengirimkan utusan-utusannya ke Dinasti Liang beberapa kali guna menerima gelar kehormatan.
Dalam pengaruh budaya, makam Raja Muryeong dibuat berdasarkan gaya makam Liang.
Peran
Baekje di daratan Tiongkok
Walau kontroversial, beberapa
teks kuno Tiongkok dan Korea menunjukkan bahwa wilayah teritori Baekje juga
mencakup bagian-bagian dari daratan Tiongkok. Menurut teks Tiongkok, Kitab Song,“Goguryeo menduduki Liaodong dan Baekje menduduki wilayah Liaoxi (kini Tangshan, Hebei); daerah yang dikuasai Baekje bernama Ditrik Jinping, Propinsi Jinping.” Menurut Kitab Jin mengenai Murong Huang, menyebutkan bahwa aliansi Goguryeo, Baekje dan Xianbei melakukan peperangan. Babad Goryeo Samguk Sagi menyebutkan bahwa peperangan ini terjadi pada masa Raja Micheon dari Goguryeo (309-331).
Menurut Kitab Liang, “Pada masa Dinasti Jin (265-420), Goguryeo menduduki Liaodong, dan Baekje menduduki Liaoxi dan Jinping, mendirikan propinsi-propinsi Baekje.”
Kitab Zizhi Tongjian, yang ditulis Sima Guang (1019-1086) dari Dinasti Song (960-1279), menyebutkan bahwa tahun 346, Baekje menyerang negeri Buyeo, yang berada di Lushan, dan menyebabkan penduduk negeri itu mengungsi ke sebelah barat negeri Yan. Tahun itu merupakan masa pemerintahan Raja Geunchogo (346-375).
Penjelasan yang sama dari Kitab Qi dan Zizhi Tongjian, menyebutkan bahwa Dinasti Wei Utara (386-534) menyerang Baekje dengan 100 ribu orang tentara pada tahun 488, namun dapat dipatahkan oleh Baekje. Catatan ini juga dijelaskan di Samguk-sagi, yaitu terjadi pada masa Raja Dongseong (tahun 488). Karena tidak mungkinnya pasukan Wei melakukan serangan ke Baekje tanpa melewati wilayah Goguryeo (semasa Raja Jangsu) di semenanjung Korea bagian utara, kemungkinan perang tersebut terjadi di wilayah Baekje di daratan Tiongkok (Liaoxi).
Kitab Qi juga menyebutkan pada tahun 495, pemimpin Baekje, Raja Dongseong meminta gelar kehormatan untuk para jenderal yang berjasa menumpas serangan Wei kepada Dinasti Qi Selatan. Qi Selatan memberi gelar sesuai dengan daerah-daerah di propinsi Baekje, seperti Guangling, Qinghe, Chengyang, dan lainnya.
Bagian Teritori dari teks Mǎnzhōu Yuánliú Kǎo (满洲源流考, "Pertimbangan Asal Manchu") juga menyebutkan tentang wilayah teritori Baekje, dengan jelas menuliskan bagian dari Liaoxi:
Perbatasan dari Baekje dimulai dari Guangning dan
Jiyi (kini) di wilayah barat laut dan melintasi laut di arah timur sampai
wilayah Joseon yakni Hwanghae, Chungcheong, Jeolla dan sebagainya. Dari timur
ke barat, teritori Baekje sempit, panjang dari utara ke selatan. Lalu jika
seseorang melihat dari wilayah Baekje, dari Liucheng dan Beiping, Silla
terletak di sebelah tenggara Baekje, namun jika seseorang melihat dari
Gyeongsang dan Ungjin di Baekje, Silla terletak di timur lautnya. Wilayah
Baekje juga berbatasan dengan wilayah Mohe di utara. Ibukotanya memiliki 2
kastil di 2 wilayah berbeda di barat dan timur. Kedua kastil disebut “Goma.”
Kitab Song menyebutkab bahwa wilayah Baekje di Tiongkok dinamakan distrik Jinping
dari Propinsi Jinping. Tong-gao menyebutkan bahwa propinsi Jinping terletak di
antara Liucheng dan Beiping pada masa Dinasti Tang.
Maka, salah satu ibukota Baekje
terletak di Liaoxi dan satunya berada di semenanjung Korea. Barulah pada masa
Kaisar Wu dari Liang, Baekje memindahkan ibukotanya ke semenanjung Korea.Baik Kitab Sejarah Lama dan Baru Dinasti Tang menyebutkan bahwa wilayah kekuasaan Baekje lama telah diserap oleh Silla dan Balhae.[14] Jika wilayah Baekje hanya terbatas pada barat laut semenanjung Korea saja, maka tidak mungkin bagi Balhae untuk menyerap wilayah-wilayah Baekje. Ilmuwan ternama Silla Choi Chi-won (857-?) menuliskan bahwa “Goguryeo dan Baekje pada masa keemasannya memiliki militer yang sangat kuat yang mencapai satu juta orang, dan menginvasi negeri Wu dan Yue di selatan dan negeri You, Yan, Qi, dan Lu di sebelah utara daratan Tiongkok, membuat gangguan besar bagi dinasti-dinasti Negeri Tengah (Tiongkok).”[15]
Berdasarkan catatan-catatan sejarah ini, Baekje kemungkinan memiliki wilayah Liaoxi lebih dari 100 tahun lamanya.
Hubungan
dengan Jepang
Bantuan
militer
Karena berkonflik dengan Goguryeo dan Silla, Baekje (diterjemahkan Kudara dalam bahasa
Jepang) menjalin hubungan yang dekat dengan Jepang. Menurut babad Korea Samguk Sagi, Baekje dan Silla mengirimkan pangeran
mereka ke Wa (Jepang) sebagai sandera.[16] Sebagai balasannya, Jepang memberi
bantuan militer.[17]Samguk Sagi dan Samguk Yusa menjelaskan bahwa beberapa keturunan keluarga kerajaan dan bangsawan Baekje sangat dihormati istana kekaisaran Jepang. Yamato mendapat pengaruh kuat dari Baekje dan menjalin hubungan baik dengan daratan Korea, seperti pada masa Kaisar Yomei, ketika didirikannya kuil Buddha Horyuji, sehingga Buddhisme dari Korea perlahan mengalir ke Jepang. Diketahui juga bahwa Raja Muryeong dari Baekje, raja ke-25, ternyata dilahirkan di Jepang.
Teks sejarah Tiongkok Kitab Sui dari Dinasti Sui menyebutkan bahwa Baekje mendapat bantuan militer dari Jepang pada perjanjian sungai Baekchon.[18]
Babad Nihon Shoki yang kontroversial menyebutkan bahwa Maharani Jingu menerima upeti dan membangun aliansi dengan raja-raja Baekje, Silla, dan Goguryeo. Lebih jauh, Nihon Shoki juga menuliskan bahwa Konfederasi Gaya adalah permukiman Yamato. Tidak satupun catatan sejarah Korea atau Tiongkok yang pernah menyebutkan bahwa Yamato pernah menduduki Korea.
Nihon Shoki memberi detail tentang tanggal invasi Silla ke Baekje pada akhir abad ke-4. Namun, pada waktu ini Jepang adalah negeri konfederasi dari penguasa-penguasa lokal, sementara itu Tiga Kerajaan Korea sudah secara penuh berdiri. Rasanya sangat tidak mungkin bahwa negeri yang baru berkembang seperti Yamato dapat menerima upeti dan memiliki kekuasaan di atas Baekje, yang diketahui sangat memengaruhi mereka, apalagi Goguryeo, kekuatan terbesar saat itu. Nihon Shoki dianggap sebagai sumber informasi yang tidak dapat dipercaya karena penuh dengan pernyataan dugaan dan cerita legenda.[19]
Beberapa sejarawan Jepang menerjemahkan Prasasti Gwanggaeto yang bertarikh tahun 414 Masehi yang didirikan Raja Jangsu dari Goguryeo, sebagai penjelasan dari invasi Jepang pada bagian selatan semenanjung Korea. Yang lain mengklaim bahwa prasasti itu telah dimodifikasi dan bahwa tulisan mengenai kehadiran Jepang di daratan Asia telah ditambahkan oleh tentara Jepang yang menemukan prasasti kuno itu pada tahun 1910, bersamaan dengan dimulainya penjajahan Korea oleh Jepang. Beberapa sejarawan RRT dan Jepang yang mempelajarinya, tidak dapat percaya informasi yang tertulis di prasasti, akibat kerusakan yang disengajakan. [20][21]
Kejatuhan
dan pengungsian ke Jepang
Beberapa anggota kerajaan dan
bangsawan Baekje sudah tinggal di Jepang bahkan sebelum kerajaan tersebut
mengalami kejatuhan tahun 660. Anggota keluarga kerajaan terdahulu pada awalnya
dianggap sebagai“tamu asing” (蕃客) dan tidak diizinkan memasuki sistem politik
kekaisaran selama beberapa waktu.Atas respon dari permintaan Baekje, pada tahun 663, Jepang mengirimkan jenderal Abe no Hirafu bersama pangeran Buyeo Pung (Jepang: Hōshō), seorang putra Raja Uija yang tinggal di Jepang dan 20 ribu orang pasukan dan seribu buah kapal untuk membantu memulihkan Baekje.
Usaha ini gagal dalam Pertempuran Baekgang, dan pangeran Buyeo Pung melarikan diri ke Goguryeo. Berdasarkan Nihon Shoki, 400 buah kapal Jepang hancur dan hanya setengah dari pasukan yang kembali ke Jepang.
Kembalinya para pasukan Jepang diikuti banyak pengungsi dari Baekje. Adik laki-laki Buyeo Pung, Sun-gwang (Jepang; Zenkō) menggunakan nama keluarga Kudara no Konikishi ("Raja Baekje";百濟王) yang diberikan oleh Kaisar Kammu. Keturunan kerajaan Baekje di Jepang disebut keluarga/klan Kudara. Menurut kitab Shoku Nihongi, ibunda dari Kaisar Kammu, Takano no Niigasa (高野新笠, ?–790), adalah keturunan langsung Raja Muryeong dari Baekje. Kaisar Kammu menganggap klan Kudara no Konikishi sebagai “kerabat dari pernikahan.”
Banyak klan di Jepang yang merupakan keturunan dari keluarga kerajaan Baekje seperti klan Ouchi, klan Sue, dan sebagainya.
Warisan
Baekje bangkit lagi pada periode Tiga Kerajaan Korea Zaman Akhir, saat Silla Bersatu jatuh. Pada tahun 892, jenderal Gyeon Hwon mendirikan Hubaekje (“Baekje Selanjutnya”), Wansan (dekat Jeonju). Hubaekje digulingkan pada tahun 936 oleh Taejo dari Goryeo.Pada masa sekarang, warisan Baekje dapat ditemukan di daerah barat laut semenanjung Korea, khususnya meliputi propinsi Chungcheong Selatan dan Jeolla. Berbagai karya budaya Baekje yang berharga sampai sekarang masih dipelihara antara lain pembakar dupa, kuil-kuil Buddha, patung dan ukiran Buddha, mahkota, perhiasan dan sebagainya. Beberapa harta nasional Jepang yang ditemukan di kuil-kuil Buddha dan museum-museum Jepang adalah warisan karya seni dari Baekje.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar